TASAWUF
SEBAGAI ILMU DAN DISIPLIN DIRI
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen
Pengampu : Pak Komarudin
Disusun oleh :
Dewi Aisyah .A. (101111011)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Agama Islam
yang sebagaimana dijumpai dalam sejarah ternyata tidak sesempit yang dipahami
pada umumnya. Terlihat di dalam sejarah bahwa Islam bersumber pada al-Qur’an
dan al-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas Dari
Pertumbuhan tersebut lahirlah berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti ilmu
kalam, filsafat, tasawuf. Fiqh, dan ilmu jiwa dalam tasawuf. Antara satu ilmu
dengan ilmu lainnya terdapat keterkaitan yang tidak dapat dilepaskan.
Tasawuf sebagai
sebauah disiplin ilmu keislaman dan tidak dapat lepas dari keterkaitannya
dengan ilmu keislaman lain tersebut. Tasawuf
sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk
diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami
banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk
mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula
munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada
sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari
tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal
tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan
sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Salah satu ilmu
yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf.
Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar
yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak
dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin
sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam
menjelaskan hadis Nabi SAW, yang artinya :
‘Ilmu
itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat
dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak
cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi
bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu
keluar dari lidah.[1]
Bahwa
ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf,
yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir
yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh
jasad yang disebut juga ilmu syari’ah.
Ilmu
tersebut tidak dapat terpisah keduanya karena ilmu dhahir diucapkan
dan digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan
oleh qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan keduanya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf
seseorang itu semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan
kewarasannya. Seorang Sufi sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya,
bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga
dipeliharanya.
Adakalanya ilmu tasawuf dipanggil juga ilmu hakikat.
Ini kerana hakikat manusia itu yang sebenarnya adalah rohnya. Yang menjadikan
manusia itu hidup dan berfungsi adalah rohnya. Yang menjadikan mereka mukalaf
disebabkan adanya roh. Yang merasa senang dan susah adalah rohnya. Yang akan
ditanya di Akhirat adalah rohnya. Hati atau roh itu tidak mati sewaktu jasad
manusia mati. Cuma ia berpindah ke alam Barzah dan terus ke Akhirat.
Jadi, hakikat manusia itu adalah roh. Roh itulah yang kekal. Sebab itu ia dikatakan ilmu hakikat. Oleh yang demikian apabila kita mempelajari sungguh-sungguh ilmu rohani ini hingga kita berjaya membersihkan hati, waktu itu yang hanya kita miliki adalah sifat-sifat mahmudah iaitu sifat-sifat terpuji. Sifat-sifat mazmumah iaitu sifat-sifat terkeji sudah tidak ada lagi. Maka jadilah kita orang yang bertaqwa yang akan diberi bantuan oleh Allah SWT di dunia dan Akhirat.
Jadi, hakikat manusia itu adalah roh. Roh itulah yang kekal. Sebab itu ia dikatakan ilmu hakikat. Oleh yang demikian apabila kita mempelajari sungguh-sungguh ilmu rohani ini hingga kita berjaya membersihkan hati, waktu itu yang hanya kita miliki adalah sifat-sifat mahmudah iaitu sifat-sifat terpuji. Sifat-sifat mazmumah iaitu sifat-sifat terkeji sudah tidak ada lagi. Maka jadilah kita orang yang bertaqwa yang akan diberi bantuan oleh Allah SWT di dunia dan Akhirat.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Pengertian Tasawuf ?
B.
Bagaimana Tasawuf sebagai Ilmu ?
C.
Tujuan tasawuf bagi disiplin diri ?
D.
Tasawuf sebagai disiplin ilmu ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Arti
tasawuf dan asal katanya menurut tata bahasa sebagaimana dalam buku Mempertajam
Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang
diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
1. Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan
dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu
duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk
disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
2. Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf
itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang
indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut,
dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
4. Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang
mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin
dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan
kemurkaan Allah.[2]
Pendapat
tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama,
bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari makna atau asal
kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat
mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang
bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya
kerena semua itu bisa diterima.
Dengan
pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut
bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan
istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan
kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat
untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.
Dari
sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf,
sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli
mendefenisikan tasawuf hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja,
sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf
pada Harvard University [3]sebagai contoh apa yang
telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risālah
al-Qusyairiyyah, yang bila diterjemahkan :
“Orang-orang yang senantiasa mengawasi
nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara
hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara
tersebut di atas dinamakan tasawuf.”
B.
Tasawuf sebagai Ilmu
Ilmu pengetahuan yang di zaman Yunani kuno diberi citra,
bahkan diidentikkan dengan filsafat. Tasawuf sebagai ilmu
juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya
gerakan Renaissance dan Aufklarung. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai
komitmen dengan apa atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan,
otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri
untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju
kehidupan yang hendak dicapai.[4]
Harun Nasution mendefinisikan
tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jala bagaimana orang Islam dapat
sedekat mungkin dengan Allah agar memperoleh hubungna langsung dan disadari
dengan Tuhan bahwa seseorang benar-benar di hadirat Tuhan. Ada sebagian orang
yang menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang
berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian
diri , penyucian hati, dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk
mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka
melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia
melihat mereka. Inilah istilah tasawuf
sepanjang zaman dalam konteks Islam.
C. Tujuan Tasawuf Bagi Disiplin Diri
Secara
umum, tujuan terpenting dari disiplin diri seorang sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan
Allah.[5] Akan tetapi apabila
diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga
sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
1. Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek
ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan
pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada
keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya
bersifat praktis.
2. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui
penyingkapan langsung atau metode al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf
jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang
diformulasikan secara sistimatis analitis.
Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan
dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis
hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan
dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu,
terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan
kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga
terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah
penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara
manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.[6]
D. Tasawuf Sebagai Disiplin Ilmu
Bagian terpenting di dalam disiplin ilmu dan amalan
tasawuf ialah amalan zikrullah dan wirid. Amalan ini sering menonjol di
kalangan pengamal tareqat tasawuf. Zikir atau zikrullah merujuk kepada maksud
mengingati Allah SWT. sssDi dalam amalan tareqat dan tasawuf zikrullah atau
mengingat Allah SWT. itu dibantu dengan bermacam-macam ungkapan yang secara
langsung atau tidak langsung membawa maksud mengingati Allah SWT. Seperti dengan
menyebut nama-nama Allah SWT, sifet-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Ahli tareqat dan tasawuf berkeyakinan bahawa seorang insan melalui amalan zikir akan menjadikan dirinya dapat merasakan lahir dan batinya dilihat oleh Allah SWT, dan segala urusan pekerjaannya diawasi oleh Allah SWT, perkataannya didengar oleh Allah SWT, manakala cita-cita dan niatnya pula tidak terlepas dari pengetahuan Allah SWT. Benarlah seperti apa yang telah disabdakan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. di dalam hadis Jibril yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi di dalam Sunannya tentang situasi ini, antara lain yang artinya :
“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dengan Ihsan? Baginda bersabda: Ihsan itu ialah sesungguhnya engkau menyembah (mengabdi diri) kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka sesungguhnya jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia (Allah) melihat kamu”
Ahli tareqat dan tasawuf berkeyakinan bahawa seorang insan melalui amalan zikir akan menjadikan dirinya dapat merasakan lahir dan batinya dilihat oleh Allah SWT, dan segala urusan pekerjaannya diawasi oleh Allah SWT, perkataannya didengar oleh Allah SWT, manakala cita-cita dan niatnya pula tidak terlepas dari pengetahuan Allah SWT. Benarlah seperti apa yang telah disabdakan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. di dalam hadis Jibril yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi di dalam Sunannya tentang situasi ini, antara lain yang artinya :
“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dengan Ihsan? Baginda bersabda: Ihsan itu ialah sesungguhnya engkau menyembah (mengabdi diri) kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka sesungguhnya jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia (Allah) melihat kamu”
Di dalam amalan tareqat dan tasawuf, dengan amalan
zikrullah seseorang akan mencapai ma’rifah kepada-Nya dan akan melahirkan dua
sifat kepada pengamalnya; Pertama akan melahirkan sifat takwa manakala yang
kedua akan melahirkan sifat mahabbah iaitu sifat cintakan kepada Allah SWT.
Dengan sifat takwa seorang hamba akan menuruti segala perintah tuannya selaku
Khalik, manakala sifat mahabbah pula akan melahirkan sifat cintakan kepada
perbuatan yang disuruh oleh Allah SWT, selaku penciptanya.
IV. KESIMPULAN
Tasawuf sebagai
sebauah disiplin ilmu keislaman dan tidak dapat lepas dari keterkaitannya
dengan ilmu keislaman lain tersebut. Tasawuf
sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk
diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami
banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk
mengobati kehampaan tersebut.
Secara singkat tujuan dari sufisme
adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan,
yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena
Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini; (2) penanggalan secara
total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang
berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan
sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan (3) peniadan
kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap
Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa
ridhāka mathlūbīy.
Bagian terpenting di dalam disiplin ilmu dan amalan
tasawuf ialah amalan zikrullah dan wirid. Amalan ini sering menonjol di
kalangan pengamal tareqat tasawuf. Zikir atau zikrullah merujuk kepada maksud
mengingati Allah SWT. sssDi dalam amalan tareqat dan tasawuf zikrullah atau
mengingat Allah SWT.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah
kami bermanfaat bagi kita semua, amin.
DAFTAR PUSTAKA
_______, Ibnu Athaillah. al-Hikam. Diterjemahkan
oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah. Cet. V; Surabaya : Balai Buku,
1984).
Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul
Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.), hlm. 390.
Permadi, K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet.
I; Jakarta :
Rineka Cipta, 1997
Asmaran.
Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002)
Ibnu Athaillah
al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan
judul Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke
Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1999).
[1] Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul
Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.), hlm. 390.
[2] Lihat Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn
Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam
Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), hlm.5.
[3] K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet.
I; Jakarta :
Rineka Cipta, 1997), hlm. 31.
[4]Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
2002) hlm.23
[5] Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan
oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya:
Balai Buku, 1984), hlm.
[6] . Lihat H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke
Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar