Selasa, 03 Juli 2012

Tasawuf Sebagai Ilmu Dan Disiplin Diri



TASAWUF SEBAGAI ILMU DAN DISIPLIN DIRI

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Pak Komarudin

http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTrNMb8hx7d6bDi8mzNLjrguKqITq9wD-WXr8m3-XMti_1p0qhO

Disusun oleh :

Dewi Aisyah .A. (101111011)


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012





I.                   PENDAHULUAN
Agama Islam yang sebagaimana dijumpai dalam sejarah ternyata tidak sesempit yang dipahami pada umumnya. Terlihat di dalam sejarah bahwa Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas Dari Pertumbuhan tersebut lahirlah berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti ilmu kalam, filsafat, tasawuf. Fiqh, dan ilmu jiwa dalam tasawuf. Antara satu ilmu dengan ilmu lainnya terdapat keterkaitan yang tidak dapat dilepaskan.
Tasawuf sebagai sebauah disiplin ilmu keislaman dan tidak dapat lepas dari keterkaitannya dengan ilmu  keislaman lain tersebut. Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam menjelaskan hadis Nabi SAW, yang artinya :
‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu keluar dari lidah.[1]
Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah.
Ilmu tersebut tidak dapat terpisah keduanya karena ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan keduanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya. Seorang Sufi sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya.
Adakalanya ilmu tasawuf dipanggil juga ilmu hakikat. Ini kerana hakikat manusia itu yang sebenarnya adalah rohnya. Yang menjadikan manusia itu hidup dan berfungsi adalah rohnya. Yang menjadikan mereka mukalaf disebabkan adanya roh. Yang merasa senang dan susah adalah rohnya. Yang akan ditanya di Akhirat adalah rohnya. Hati atau roh itu tidak mati sewaktu jasad manusia mati. Cuma ia berpindah ke alam Barzah dan terus ke Akhirat.
Jadi, hakikat manusia itu adalah roh. Roh itulah yang kekal. Sebab itu ia dikatakan ilmu hakikat. Oleh yang demikian apabila kita mempelajari sungguh-sungguh ilmu rohani ini hingga kita berjaya membersihkan hati, waktu itu yang hanya kita miliki adalah sifat-sifat mahmudah iaitu sifat-sifat terpuji. Sifat-sifat mazmumah iaitu sifat-sifat terkeji sudah tidak ada lagi. Maka jadilah kita orang yang bertaqwa yang akan diberi bantuan oleh Allah SWT di dunia dan Akhirat.

II.                RUMUSAN MASALAH

A. Apa Pengertian Tasawuf ?
B. Bagaimana Tasawuf sebagai Ilmu ?
C. Tujuan tasawuf bagi disiplin diri ?
D. Tasawuf sebagai disiplin ilmu ?


III.       PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf
Arti tasawuf dan asal katanya menurut  tata bahasa sebagaimana dalam buku Mempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
1.      Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
2.      Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
3.      Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
4.      Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.[2]
Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari makna atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya kerena semua itu bisa diterima.
Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.

Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf, sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli mendefenisikan tasawuf hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf pada Harvard University [3]sebagai contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah, yang bila diterjemahkan :
 “Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.”

B.     Tasawuf sebagai Ilmu
Ilmu pengetahuan yang di zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan filsafat. Tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.[4]
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jala bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah agar memperoleh hubungna langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang benar-benar di hadirat Tuhan. Ada sebagian orang yang menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri , penyucian hati, dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.

C. Tujuan Tasawuf  Bagi Disiplin Diri
Secara umum, tujuan terpenting dari disiplin diri seorang sufi  ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah.[5] Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
1. Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
2. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode ­al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis.
Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.[6]

D. Tasawuf  Sebagai Disiplin Ilmu
Bagian  terpenting di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawuf ialah amalan zikrullah dan wirid. Amalan ini sering menonjol di kalangan pengamal tareqat tasawuf. Zikir atau zikrullah merujuk kepada maksud mengingati Allah SWT. sssDi dalam amalan tareqat dan tasawuf zikrullah atau mengingat Allah SWT. itu dibantu dengan bermacam-macam ungkapan yang secara langsung atau tidak langsung membawa maksud mengingati Allah SWT. Seperti dengan menyebut nama-nama Allah SWT, sifet-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Ahli tareqat dan tasawuf berkeyakinan bahawa seorang insan melalui amalan zikir akan menjadikan dirinya dapat merasakan lahir dan batinya dilihat oleh Allah SWT, dan segala urusan pekerjaannya diawasi oleh Allah SWT, perkataannya didengar oleh Allah SWT, manakala cita-cita dan niatnya pula tidak terlepas dari pengetahuan Allah SWT. Benarlah seperti apa yang telah disabdakan oleh Baginda  Rasulullah s.a.w. di dalam hadis Jibril yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi di dalam Sunannya tentang situasi ini, antara lain yang artinya :

“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dengan Ihsan? Baginda bersabda: Ihsan itu ialah sesungguhnya engkau menyembah (mengabdi diri) kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka sesungguhnya jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia (Allah) melihat kamu”



Di dalam amalan tareqat dan tasawuf, dengan amalan zikrullah seseorang akan mencapai ma’rifah kepada-Nya dan akan melahirkan dua sifat kepada pengamalnya; Pertama akan melahirkan sifat takwa manakala yang kedua akan melahirkan sifat mahabbah iaitu sifat cintakan kepada Allah SWT. Dengan sifat takwa seorang hamba akan menuruti segala perintah tuannya selaku Khalik, manakala sifat mahabbah pula akan melahirkan sifat cintakan kepada perbuatan yang disuruh oleh Allah SWT, selaku penciptanya.

IV.       KESIMPULAN
Tasawuf sebagai sebauah disiplin ilmu keislaman dan tidak dapat lepas dari keterkaitannya dengan ilmu  keislaman lain tersebut. Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk mengobati kehampaan tersebut.
Secara singkat tujuan dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini; (2) penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan (3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.
Bagian  terpenting di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawuf ialah amalan zikrullah dan wirid. Amalan ini sering menonjol di kalangan pengamal tareqat tasawuf. Zikir atau zikrullah merujuk kepada maksud mengingati Allah SWT. sssDi dalam amalan tareqat dan tasawuf zikrullah atau mengingat Allah SWT.



V.                 PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah kami bermanfaat bagi kita semua, amin.
























DAFTAR PUSTAKA
_______, Ibnu Athaillah. al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.), hlm. 390.
Permadi, K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002)
Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999).




[1] Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.), hlm. 390.

[2] Lihat Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), hlm.5.
[3] K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 31.

[4]Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002) hlm.23

[5] Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), hlm.

[6] . Lihat H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 57.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar